Pengantar
Dalam forum diskusi ini saya mencoba untuk memaparkan apa yang pernah dan
sedang kami lakukan bersama tim untuk desa
Melidi. Dan ini dalam lingkup yang kecil, yaitu desa.
Dari lingkup yang kecil harapannya bisa menjadi sebuah model yang bisa dikembangkan untuk lingkup yang lebih luas, misalnya kecamatan, kabupaten atau propinsi.
Dari lingkup yang kecil harapannya bisa menjadi sebuah model yang bisa dikembangkan untuk lingkup yang lebih luas, misalnya kecamatan, kabupaten atau propinsi.
Berbicara tentang Illegal loging,
pertama kali kita harus mempunyai kerangka berpikir yang sama tentang illegal logging.
Pengertian illegal logging; ”serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan
exploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini
terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan,
tahap pengangkutan kayu gelondong, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran: dan
bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan
pelanggaran-pelanggaran keuangan seperti penghindaran pajak.
Pelanggaran-pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas
administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi
yang disahkan secara nasional yang beroperasi di dalam kawasan ini, tidak di
demarkasi di lapangan dengan melibatkan masyarakat setempat”(WWF)
Illegal logging tidak hanya menjadi isu lokal Aceh, namun
tema ini sudah menjadi isu nasional, bahkan dunia. Data menunjukkan bahwa luas
kawasan hutan tetap di Indonesia berdasarkan penafsiran citra Landsat 7 ETM+
liputan tahun 1999/2000 adalah seluas 110 juta ha dengan luas kawasan yang
masih berhutan adalah 72 juta ha, sedangkan areal yang lain berupa non-hutan
dan tidak ada data (tertutup awan). Berdasarkan data Statistik Kehutanan Indonesia
tahun 1993 dan 2001, kondisi luas hutan Indonesia telah menyusut dari 130,1
juta ha menjadi 123,4 juta ha, atau dengan kata lain menurun dari 67,7 persen
pada 1993 menjadi 64,2 persen pada 2001. Penyusutan luas hutan disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain penjarahan hutan, kebakaran, perubahan (konversi)
untuk kegiatan pembangunan lain di luar kehutanan seperti untuk pertambangan
dan pembangunan jalan, permukiman, dan sebagainya. Laju deforestasi selama kurun waktu 1985 sampai dengan 1997 untuk bioregion
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua adalah sekitar 1,8 juta
ha/tahun. Penurunan luas hutan sekaligus juga merupakan penurunan fungsi dan
peran ekologis hutan terhadap lingkungan yang akan berakibat pada terjadinya
krisis air di masa depan (Laporan
Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia dalam Rosmaika Naila,
2008).
Kerusakan hutan yang sedemikian
besar disebabkan antara lain oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat,
penebangan kayu yang berlebihan, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar
untuk keperluan pembangunan sektor lain, illegal
logging, perambahan hutan, dan kebakaran hutan (Kompas, 2001).
Dari penyebab kerusakan
hutan tersebut, illegal logging
menjadi permasalahan yang perlu segera ditanggulangi dan diberantas karena
dampaknya amat merugikan baik dari segi sosial budaya, ekonomi, maupun
ekologis. Angka illegal logging sudah
mencapai 50,7 juta m3 per tahun dengan kerugian finansial sebesar 30 triliiun
per tahun (Departemen Kehutanan, 2002
dalam Ani T Raharjo., 2005).
Tahun ini, hutan yang
dibabat mencapai 1 juta hektar. Lebih rendah ketimbang periode 1998 hingga 2000
yang mencapai 3 juta hektar per tahun. Penurunan ini bukan berarti aksi pelaku
pembalakan liar (illegal logging)
sudah mereda. “Sekarang disinyalir, pelaku illegal logging bergerak di sebagian
Papua dan Kalimantan,” ungkap Zulkifli Hasan SE MM, Menteri Kehutanan (Menhut)
RI. (Equator news online, 2010)
Seperti yang telah disampaikan di
atas bahwa permasalahan kerusakan hutan khususnya illegal logging, juga
menjadi isu yang hangat di bicarakan di Aceh ini. Jika kita melihat data menurut
SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999 yang berisi arahan fungsi hutan
Aceh, luas total hutan Aceh adalah 3.335.613 ha. Data tersebut diperkuat oleh SK Menteri
Kehutanan RI No. 170/Kpts-II/2000 yang menyebutkan luas hutan Aceh 3.335.613
ha, sedangkan luas daratan propinsi Aceh mencapai 5.539.000 ha. Secara
keseluruhan, wilayah hutan Aceh mencapai 60,22% dari total luas daratan
propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dari data tersebut terindikasi
luas lahan kritis lebih kurang 1.626.800 Ha dengan perincian 788.600 Ha berada
dalam kawasan hutan dan 738.200 Ha di luar kawasan hutan (Data Dishut Prov Aceh,2007). Pasca Tsunami luas lahan kritis
menjadi bertambah khususnya pada daerah pesisir. Pembalakan liar dan kebakaran
hutan juga menyebabkan penyebaran benih serta jumlah tumbuhan yang hidup
berkembang menjadi sangat terbatas.
Aksi Ilegal Logging telah membuat ekosistem hutan terganggu. Akibat dari itu, kini munculah konflik baru antara manusia dengan satwa. Banyaknya satwa liar yang turun ke kampung-kampung seperti harimau dan gajah, yang telah merusak kebun dan lahan para petani.
Aksi Ilegal Logging telah membuat ekosistem hutan terganggu. Akibat dari itu, kini munculah konflik baru antara manusia dengan satwa. Banyaknya satwa liar yang turun ke kampung-kampung seperti harimau dan gajah, yang telah merusak kebun dan lahan para petani.
Panduan kebijakan yang bisa dijadikan rujukan hukum dalam pemantapan
kawasan hutan adalah UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999
tentang Arahan Fungsi Hutan dan Perairan, dan SK Menteri Kehutanan dan
Perkebunan RI No. 170/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan
Perairan Nanggroe Aceh Darussalam. Dan Kebijakan pemerintah untuk
mengendalikan masalah illegal logging, Pemerintah Aceh mendeklarasikan kebijakan
penghentian sementara penebangan hutan (moratorium
logging) melalui Instruksi Gubernur No.05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007.
Kondisi sosial ekonomi
masyarakat desa Melidi
Desa Melidi terletak di perbukitan dan terpisah dari desa-desa lain. Desa
Melidi termasuk salah satu desa di Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur.
Untuk menuju desa ini, akses transportasi dapat ditempuh dengan jalur sungai
dengan moda transportasi boat yang memakan waktu tempuh + 6-7 jam dari
pelabuhan Kuala Simpang. Selain itu juga bisa ditempuh dengan jalan darat
melewati alur Kermal menyeberang pakai getek di Percut dan Batu Sumbang. Jalur
darat lainnya lewat Blok 8 Babo dan Camp 200 namun harus menyeberangi alur Cempege tanpa titi
atau getek. Luas Desa Melidi + 6000 Ha, dengan jumlah penduduk 746 jiwa
dalam 176 KK. Mata pencaharian pokok
warga Melidi adalah petani (sawah &
ladang), kebun (belum produktif) sambil
mencari kerak alim atau berbalok (sebagian kecil) dan mencari ikan. Pendapatan rata–rata masyarakat
Melidi pertahun : Rp. 723.645,- . Masalah yang dihadapi masyarakat Melidi saat
ini :
·
Belum
ada aliran listrik 24 jam. Untuk penerangan malam hari masyarakat menggunakan
energi tenaga surya dengan kapasitas daya yang sangat terbatas hanya untuk
lampu penerangan 2-3 bolam dengan ketahanan 6-8 jam. Sebagian masyarakat juga menggunakan mesin genset
·
Jalan
desa setiap hujan deras sering becek (belum ada pengerasan jalan )
·
Ketersedian
cadangan pangan rendah (saat terjadi krisis 2008, gagal panen)
·
Sebagian
besar penduduknya hanya berpendidikan SD, meski tidak sampai tamat. Pada
kelompok usia 40 tahun ke atas banyak yang buta huruf
·
Hama
pertanian pada padi babi, tikus, burung, walang sengit, wereng.
·
Jauh
dari akses air bersih
·
Pola
hidup bersih dan sehat belum membudaya, seperti: buang air besar sembarangan,
belum ada tempat pembuangan limbah cair dari dapur yang tertutup, dll
·
Angka
kesakitan TB cukup tinggi
·
Ada
fasilitas pelayanan kesehatan tetapi tidak optimal karena keberadaan bidan desa
yang tidak menentu
Ilegal logging di desa
Dari penelusuran sejarah desa yang dilakukan dengan masyarakat bahwa illegal logging (pembalakan) sudah
terjadi sejak tahun 1970-an, ketika perusahaan pemegang HPH (PT KL) masuk desa. Kurun waktu 1987-1998 pembalakaan
/pengambilan balok paling besar (jumlahnya) yang dilakukan oleh pengelola HPH
(PT TRD dan PT. PP). Jadi penebangan kayu tersebut memegang ijin dari
pemerintah melalui ijin pemegang HPH. Kegiatan ini melibatkan hampir 100 % KK
yang ada di Melidi, masyarakat bekerja (pembalakan) untuk perusahaan.
Hal yang menarik lagi, pada kurun waktu 1996-2001, sekitar 80 % KK yang ada
di Melidi, telah memiliki chain saw (gergaji
mesin) dengan kepemilikan rata-rata 1-4 unit. Kemudian dalam kurun waktu
2001-2005, hampir 100 % masyarakat melakukan pembalakan (penembangan hutan),
yang semua hasilnya diserahkan kepada oknum aparat (masa konflik), karena
kebutuhan pokok dipasok dari oknum aparat tersebut.
Pasca banjir bandang dalam kurun waktu 2006-2008, aktifitas penebangan masih dilakukan warga sekitar 75 %, hasil dari penebangan
dilakukan untuk memenuhi ketersediaan pangan.(Alur sejarah desa melidi, 2008)
Memasuki tahun 2009 pembalakan dapat dikatakan turun drastis, hasil
investigasi per bulan Juni 2009, ditemukan hanya 8 KK dari 176 KK yang ada
atau sekitar 4,5% warga yang masih
melakukan pembalakan. Jumlah ini turun lagi ketika dilakukan investigasi pada
bulan Desember 2009. Jumlah pembalak yang tersisa yaitu 4 KK dari 176 KK yang ada atau sekitar 2,25 %.
(Hasil investigasi Sheep, 2009).
Jika dlihat dari kecenderungan pelaku yang terlibat
bahwa para pelaku adalah perusahaan pemegang HPH, oknum aparat dan juga
warga masyarakat. Seakan-akan kegiatan pembalakan ini legal, karena ada ijin
pengelolaannya. Untuk para pelaku dari desa,
dari hasil investigasi 2009
tersebut adalah mereka yang tidak memiliki cadangan pangan berupa tanaman padi
(sawah/ladang) dan sebagian terjerat lingkaran setan permainan kayu dalam
bentuk hutang.
Hasil ivestigasi di lapangan tentang kegiatan illegal loging disepanjang DAS Tamiang, masih saja terus
berjalan meskipun dengan jumlah yang
berkurang, namun masih saja berlangsung, dengan melibatkan oknum aparat
yang mengeluarkan izin pengelolaan kayu kampung, yang berada di lokasi
desa. Bentuk ijin yang dikeluarkan oleh pihak Dinas Kehutanan merupakan surat ijin pengolahan kayu
masyarakat di desa, meskipun pemberian ijin ini tidak lebih dahulu dilakukan
survei lapangan untuk memastikan ada atau tidaknya kayu di lokasi
yang di keluarkan ijinnya. Hal ini dimanfaatkan para pembalak untuk tetap
melakukan penebangan kayu, di areal hutan negara/ hutan lindung.
Ada beberapa faktor juga yang mempengaruhi
berkurangnya pembalakan/penebangan hutan antara lain : (1) Kondisi sungai yang
kering, yang menyebabkan susahnya melakukan perakitan log (2) Intensitas petugas polhut melakukan pengawasan (3)
Meningkatnya kesadaran masyarakat karena gencarnya kampanye dari pemerintah
maupun organisasi non pemerintah . (4) Ada cadangan pangan hasil panen dan
sumber pendapatan lain (rotan, hasil kebun, getah damar, kayu alim, dll)
Selain itu kilang penggergajian sebagian berhenti
sekitar 10 unit kilang di sepanjang DAS Tamiang dari 16 unit kilang yang ada.
Namun demikian meskipun kilang penggergajian di sepanjang aliran sungai Tamiang
boleh dikatakan berhenti sebagian besar, hal ini bukan berarti pembalakan terhenti. Yang terjadi justru lebih pada penghancuran hutan desa (menebang
pohon-pohon besar di kampung) yang saat ini dilakukan oleh masyarakat pemilik
modal. Dampak yang muncul akibat kerusakan lingkungan di pedesaan adalah
ketersedian untuk pengairan areal pertanian kurang dan ketersedian air bersih
untuk kebutuhan rumah tangga tidak tercukupi.
Kerusakan hutan yang ditimbulkan karena kegiatan pembalakan atau illegal loggging di desa Melidi, kecamatan Simpang Jernih,
kabupaten Aceh Timur mencapai 200 ha. bekas pembalakan tersebut saat ini
menjadi gegas dan sebagian ladang (wawancara
dengan warga melidi).
Ketika banjir bandang terjadi 2006, peristiwa ini menjadi titik balik dan
menyadarkan sebagian warga, bahwa penebangan yang dilakukan dalam kurun waktu
yang cukup lama tersebut menuai hasil banjir bandang yang meluluh lantakkan
kampung, bahkan kampung itu rata dengan tanah, saat ini kampung pindah ke
bukit.
Cerita saat banjir ” aset warga yang
diselamatkan warga saat banjir adalah chain
saw (gergaji mesin), hampir seluruh KK memiliki chain saw, jadi semua chain saw warga
selamat, walaupun harta benda yang lain habis terbawa banjir”
Pemberdayaan masyarakat
(mengurangi kegiatan pembalakan)
Pemberdayaan bukan hal yang asing bagi kita. Pemberdayaan masyarakat yang
dimaksud adalah suatu proses dimana
masyarakat, terutama mereka yang miskin sumber daya, kaum perempuan dan kelompok
yang terabaikan lainnya, didukung agar mampu meningkatkan kesejahteraannya
secara mandiri. Hal inilah yang telah dan sedang dilakukan oleh Sheep sebagai pendamping
atau mitra masyarakat.
Proses pemberdayaan yang dilakukan di desa yaitu pengkajian desa melalui metode Partisipatory Rural Appraisal (PRA),
membuat perencanaan bersama
masing-masing kelompok yang ada, melaksanakan
kegiatan/program dan melakukan monitoring
evaluasi bersama dengan masyarakat.
Dasar
proses pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat
tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan mereka untuk
menjadi lebih baik. Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat
agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumber daya
setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Pemberdayaan masyarakat adalah
suatu proses yang berjalan terus menerus dalam meningkatkan kemampuan dan
kemandirian masyarakat serta meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses tersebut
masyarakat bersama-sama:
- Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan dan potensinya.
- Menyusun rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian
- Menerapkan rencana tersebut
- Secara terus-menerus memantau dan mengkaji proses dan hasil kegiatannya (Monitoring dan Evaluasi - M&E)
Proses di atas
juga dibarengi dengan pengorganisasian
masyarakat, yaitu mengoorganisir masyarakat dalam mencapai tujuan dalam suatu
komunitas atau kelompok. Beberapa kelompok yang terbangun di desa antara lain :
- Kelompok Tani : konsentrasi pada kegiatan sawah menanam padi
- Kelompok Gayo Ijo : konsentrasi dengan persoalan lingkungan (pipanisasi air bersih, pengelolaan kebun coklat, karet, durian & konservasi lahan kritis)
- Kelompok Belajar Mengajar (KBM)-Ariga: konsentrasi tentang pendidikan terutama belajar membaca dan menulis dan peningkatan peran perempuan dalam pemenuhan kebutuhan gizi keluarga melalui aktivitas penanaman sayuran dan buah-buahan
- Kelompok Relawan Kesehatan Desa (RKD): konsentrasi dengan persoalan kesehatan dan anak dengan kegiatan Pos Obat desa (POD, promosi kesehatan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Dari 4 fokus kegiatan di atas, satu
dengan yang lain saling berkaitan, tidak terpisah-pisah, namun terintegrasi
menjadi sebuah gerakan di desa. Proses ini merubah sebuah kebisaan dan
paradigma bahwa mencukupi pangan dari kayu (menebang kayu) menjadi mencukupi
pangan dari dan oleh warga melalui kegiatan di atas. Dari data
investigasi saat ini, 80 % warga telah
memiliki cadangan pangan dari hasil bertani, dan tidak pernah lagi membalak kayu
sejak 2 tahun terakhir ini, setelah mereka mampu membuka sawah dan mendapatkan
hasilnya. Pola pertanian yang dilakukan adalah pertanian berkelanjutan (Sustaineble Agriculture), pupuk dan
pestisida berasal dari desa dengan cara membuat sendiri. Pembalak itu telah
menjadi petani.
Ini yang dapat saya paparkan dalam forum diskusi ini, selamat berdiskusi
dan selamat hari bumi. (hsw).
_____________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar