Jumat, September 14, 2012

Strategi Menangani Illegal Logging melalui Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Desa Melidi


Oleh : Heri Sasmito Wibowo **)

Pengantar
Dalam forum diskusi ini saya mencoba untuk memaparkan apa yang pernah dan sedang  kami lakukan bersama tim untuk desa Melidi. Dan ini dalam lingkup yang kecil, yaitu desa.
Dari lingkup yang kecil   harapannya bisa menjadi sebuah model yang bisa dikembangkan untuk lingkup yang lebih luas, misalnya kecamatan, kabupaten atau propinsi.

Berbicara tentang Illegal loging, pertama kali kita harus mempunyai kerangka berpikir yang sama tentang illegal logging.
Pengertian  illegal logging; ”serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan exploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondong, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran: dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan  akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan seperti penghindaran pajak. Pelanggaran-pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi di dalam kawasan ini, tidak di demarkasi di lapangan dengan melibatkan masyarakat setempat”(WWF)

Illegal logging tidak hanya menjadi isu lokal Aceh, namun tema ini sudah menjadi isu nasional, bahkan dunia. Data menunjukkan bahwa luas kawasan hutan tetap di Indonesia berdasarkan penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000 adalah seluas 110 juta ha dengan luas kawasan yang masih berhutan adalah 72 juta ha, sedangkan areal yang lain berupa non-hutan dan tidak ada data (tertutup awan). Berdasarkan data Statistik Kehutanan Indonesia tahun 1993 dan 2001, kondisi luas hutan Indonesia telah menyusut dari 130,1 juta ha menjadi 123,4 juta ha, atau dengan kata lain menurun dari 67,7 persen pada 1993 menjadi 64,2 persen pada 2001. Penyusutan luas hutan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain penjarahan hutan, kebakaran, perubahan (konversi) untuk kegiatan pembangunan lain di luar kehutanan seperti untuk pertambangan dan pembangunan jalan, permukiman, dan sebagainya. Laju deforestasi selama kurun waktu 1985 sampai dengan 1997 untuk bioregion Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua adalah sekitar 1,8 juta ha/tahun. Penurunan luas hutan sekaligus juga merupakan penurunan fungsi dan peran ekologis hutan terhadap lingkungan yang akan berakibat pada terjadinya krisis air di masa depan (Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia dalam Rosmaika Naila, 2008).
Kerusakan hutan yang sede­mikian besar disebabkan antara lain oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, penebangan kayu yang berlebihan, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk ke­perluan pembangunan sektor lain, illegal logging, perambahan hutan, dan kebakaran hutan (Kompas, 2001).
Dari penyebab kerusakan hutan tersebut, illegal logging menjadi permasalahan yang perlu segera ditanggulangi dan diberan­tas karena dampaknya amat meru­gikan baik dari segi sosial budaya, ekonomi, maupun ekologis. Angka illegal logging sudah mencapai 50,7 juta m3 per tahun dengan ke­rugian finansial sebesar 30 triliiun per tahun (Departemen Kehutan­an, 2002 dalam Ani T Raharjo., 2005).

Tahun ini, hutan yang dibabat mencapai 1 juta hektar. Lebih rendah ketimbang periode 1998 hingga 2000 yang mencapai 3 juta hektar per tahun. Penurunan ini bukan berarti aksi pelaku pembalakan liar (illegal logging) sudah mereda. “Sekarang disinyalir, pelaku illegal logging bergerak di sebagian Papua dan Kalimantan,” ungkap Zulkifli Hasan SE MM, Menteri Kehutanan (Menhut) RI. (Equator news online, 2010)
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa permasalahan kerusakan hutan khususnya illegal logging,   juga menjadi isu yang hangat di bicarakan di Aceh ini. Jika kita melihat data menurut SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999 yang berisi arahan fungsi hutan Aceh, luas total hutan Aceh adalah 3.335.613 ha.  Data tersebut diperkuat oleh SK Menteri Kehutanan RI No. 170/Kpts-II/2000 yang menyebutkan luas hutan Aceh 3.335.613 ha, sedangkan luas daratan propinsi Aceh mencapai 5.539.000 ha. Secara keseluruhan, wilayah hutan Aceh mencapai 60,22% dari total luas daratan propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dari data tersebut terindikasi luas lahan kritis lebih kurang 1.626.800 Ha dengan perincian 788.600 Ha berada dalam kawasan hutan dan 738.200 Ha di luar kawasan hutan (Data Dishut Prov Aceh,2007). Pasca Tsunami luas lahan kritis menjadi bertambah khususnya pada daerah pesisir. Pembalakan liar dan kebakaran hutan juga menyebabkan penyebaran benih serta jumlah tumbuhan yang hidup berkembang menjadi sangat terbatas.
Aksi Ilegal Logging telah membuat ekosistem hutan terganggu. Akibat dari itu, kini munculah konflik baru antara manusia dengan satwa. Banyaknya satwa liar yang turun ke kampung-kampung seperti harimau dan gajah, yang telah merusak kebun dan lahan para petani.
Panduan kebijakan yang bisa dijadikan rujukan hukum dalam pemantapan kawasan hutan adalah UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan,  SK Gubernur Aceh No. 19 tanggal 19 Mei 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan dan Perairan, dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI No. 170/Kpts-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Nanggroe Aceh Darussalam. Dan Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan  masalah illegal logging,  Pemerintah Aceh mendeklarasikan kebijakan penghentian sementara penebangan hutan (moratorium logging) melalui Instruksi Gubernur No.05/Instr/2007 tanggal 6 Juni 2007.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Melidi
Desa Melidi terletak di perbukitan dan terpisah dari desa-desa lain. Desa Melidi termasuk salah satu desa di  Kecamatan Simpang Jernih Kabupaten Aceh Timur. Untuk menuju desa ini, akses transportasi dapat ditempuh dengan jalur sungai dengan moda transportasi boat yang memakan waktu tempuh + 6-7 jam dari pelabuhan Kuala Simpang. Selain itu juga bisa ditempuh dengan jalan darat melewati alur Kermal menyeberang pakai getek di Percut dan Batu Sumbang. Jalur darat lainnya lewat Blok 8 Babo dan Camp 200 namun  harus menyeberangi alur Cempege tanpa titi atau getek. Luas Desa Melidi + 6000 Ha, dengan jumlah penduduk 746 jiwa dalam 176 KK.  Mata pencaharian pokok warga Melidi adalah petani  (sawah & ladang),  kebun (belum produktif) sambil mencari kerak alim atau berbalok (sebagian kecil) dan  mencari ikan. Pendapatan rata–rata masyarakat Melidi pertahun : Rp. 723.645,- . Masalah yang dihadapi masyarakat Melidi saat ini :
·         Belum ada aliran listrik 24 jam. Untuk penerangan malam hari masyarakat menggunakan energi tenaga surya dengan kapasitas daya yang sangat terbatas hanya untuk lampu penerangan 2-3 bolam dengan ketahanan 6-8 jam. Sebagian masyarakat juga  menggunakan mesin genset
·         Jalan desa setiap hujan deras sering becek (belum ada pengerasan jalan )
·         Ketersedian cadangan pangan rendah (saat terjadi krisis 2008, gagal panen)
·         Sebagian besar penduduknya hanya berpendidikan SD, meski tidak sampai tamat. Pada kelompok usia 40 tahun ke atas banyak yang buta huruf
·         Hama pertanian pada padi babi, tikus, burung, walang sengit, wereng.
·         Jauh dari akses air bersih
·         Pola hidup bersih dan sehat belum membudaya, seperti: buang air besar sembarangan, belum ada tempat pembuangan limbah cair dari dapur yang tertutup, dll
·         Angka kesakitan TB cukup tinggi
·         Ada fasilitas pelayanan kesehatan tetapi tidak optimal karena keberadaan bidan desa yang tidak menentu

Ilegal logging di desa
Dari penelusuran sejarah desa yang dilakukan dengan masyarakat bahwa illegal logging (pembalakan) sudah terjadi sejak tahun 1970-an, ketika perusahaan pemegang HPH (PT KL)  masuk desa. Kurun waktu 1987-1998 pembalakaan /pengambilan balok paling besar (jumlahnya) yang dilakukan oleh pengelola HPH (PT TRD dan PT. PP). Jadi penebangan kayu tersebut memegang ijin dari pemerintah melalui ijin pemegang HPH. Kegiatan ini melibatkan hampir 100 % KK yang ada di Melidi, masyarakat bekerja (pembalakan) untuk perusahaan.

Hal yang menarik lagi, pada kurun waktu 1996-2001, sekitar 80 % KK yang ada di Melidi, telah memiliki chain saw (gergaji mesin) dengan kepemilikan rata-rata 1-4 unit. Kemudian dalam kurun waktu 2001-2005, hampir 100 % masyarakat melakukan pembalakan (penembangan hutan), yang semua hasilnya diserahkan kepada oknum aparat (masa konflik), karena kebutuhan pokok dipasok dari oknum aparat tersebut.

Pasca banjir bandang dalam kurun waktu 2006-2008, aktifitas  penebangan masih dilakukan  warga sekitar 75 %, hasil dari penebangan dilakukan untuk memenuhi ketersediaan pangan.(Alur sejarah desa melidi, 2008)

Memasuki tahun 2009 pembalakan dapat dikatakan turun drastis, hasil investigasi per bulan Juni 2009, ditemukan hanya 8 KK dari 176 KK yang ada atau  sekitar 4,5% warga yang masih melakukan pembalakan. Jumlah ini turun lagi ketika dilakukan investigasi pada bulan Desember 2009. Jumlah pembalak yang tersisa yaitu  4 KK dari 176 KK yang ada atau sekitar 2,25 %. (Hasil investigasi Sheep, 2009).

Jika dlihat dari kecenderungan pelaku  yang terlibat  bahwa para pelaku adalah perusahaan pemegang HPH, oknum aparat dan juga warga masyarakat. Seakan-akan kegiatan pembalakan ini legal, karena ada ijin pengelolaannya. Untuk para pelaku dari desa,  dari hasil investigasi  2009 tersebut adalah mereka yang tidak memiliki cadangan pangan berupa tanaman padi (sawah/ladang) dan sebagian terjerat lingkaran setan permainan kayu dalam bentuk hutang.

Hasil ivestigasi di lapangan tentang kegiatan illegal loging  disepanjang DAS Tamiang, masih saja terus berjalan meskipun  dengan jumlah yang berkurang, namun masih saja berlangsung, dengan melibatkan  oknum aparat  yang mengeluarkan izin pengelolaan kayu kampung, yang berada di lokasi desa. Bentuk ijin yang dikeluarkan oleh pihak Dinas Kehutanan  merupakan surat ijin pengolahan kayu masyarakat di desa, meskipun pemberian ijin ini tidak lebih dahulu dilakukan survei  lapangan untuk  memastikan ada atau tidaknya kayu di lokasi yang di keluarkan ijinnya. Hal ini dimanfaatkan para pembalak untuk tetap melakukan penebangan kayu, di areal hutan negara/ hutan lindung.

Ada  beberapa faktor juga yang mempengaruhi berkurangnya pembalakan/penebangan hutan antara lain : (1) Kondisi sungai yang kering, yang menyebabkan susahnya melakukan perakitan log (2) Intensitas  petugas polhut melakukan pengawasan (3) Meningkatnya kesadaran masyarakat karena gencarnya kampanye dari pemerintah maupun organisasi non pemerintah . (4) Ada cadangan pangan hasil panen dan sumber pendapatan lain (rotan, hasil kebun, getah damar, kayu alim, dll)

Selain itu kilang penggergajian sebagian berhenti sekitar 10 unit kilang di sepanjang DAS Tamiang dari 16 unit kilang yang ada. Namun demikian meskipun kilang penggergajian di sepanjang aliran sungai Tamiang boleh dikatakan berhenti sebagian besar, hal ini  bukan berarti pembalakan  terhenti. Yang terjadi  justru lebih pada penghancuran hutan desa (menebang pohon-pohon besar di kampung) yang saat ini dilakukan oleh masyarakat pemilik modal. Dampak yang muncul akibat kerusakan lingkungan di pedesaan adalah ketersedian untuk pengairan areal pertanian kurang dan ketersedian air bersih untuk kebutuhan rumah tangga tidak tercukupi.

Kerusakan hutan yang ditimbulkan karena kegiatan pembalakan atau illegal loggging  di desa Melidi, kecamatan Simpang Jernih, kabupaten Aceh Timur mencapai 200 ha. bekas pembalakan tersebut saat ini menjadi gegas dan sebagian ladang (wawancara dengan warga melidi).

Ketika banjir bandang terjadi 2006, peristiwa ini menjadi titik balik dan menyadarkan sebagian warga, bahwa penebangan yang dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut menuai hasil banjir bandang yang meluluh lantakkan kampung, bahkan kampung itu rata dengan tanah, saat ini kampung pindah ke bukit.
Cerita saat banjir ” aset warga yang diselamatkan warga saat banjir  adalah chain saw (gergaji mesin), hampir seluruh KK memiliki chain saw,  jadi semua chain saw warga selamat, walaupun harta benda yang lain habis terbawa banjir


Pemberdayaan masyarakat (mengurangi kegiatan pembalakan)
Pemberdayaan bukan hal yang asing bagi kita. Pemberdayaan masyarakat yang dimaksud adalah  suatu proses dimana masyarakat, terutama mereka yang miskin sumber daya, kaum perempuan dan kelompok yang terabaikan lainnya, didukung agar mampu meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri. Hal inilah yang telah dan sedang dilakukan oleh Sheep sebagai pendamping atau mitra masyarakat.

Proses pemberdayaan yang dilakukan di desa yaitu pengkajian desa melalui metode Partisipatory Rural Appraisal (PRA), membuat perencanaan bersama masing-masing kelompok yang ada, melaksanakan kegiatan/program dan melakukan monitoring evaluasi bersama dengan masyarakat.
Dasar proses pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik. Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia.

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses yang berjalan terus menerus dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat serta meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses tersebut masyarakat bersama-sama:
  1. Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan dan potensinya.
  2. Menyusun rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian
  3. Menerapkan rencana tersebut
  4. Secara terus-menerus memantau dan mengkaji proses dan hasil kegiatannya (Monitoring dan Evaluasi - M&E)
Proses di atas juga dibarengi dengan  pengorganisasian masyarakat, yaitu mengoorganisir masyarakat dalam mencapai tujuan dalam suatu komunitas atau kelompok. Beberapa kelompok yang terbangun di desa antara lain  :
  1. Kelompok Tani : konsentrasi pada kegiatan sawah menanam padi
  2. Kelompok Gayo Ijo : konsentrasi dengan persoalan lingkungan (pipanisasi air bersih, pengelolaan kebun coklat, karet, durian & konservasi lahan kritis)
  3. Kelompok Belajar Mengajar (KBM)-Ariga: konsentrasi tentang pendidikan terutama belajar membaca dan menulis dan peningkatan peran perempuan dalam pemenuhan kebutuhan gizi keluarga melalui aktivitas penanaman sayuran dan buah-buahan
  4. Kelompok Relawan Kesehatan Desa (RKD): konsentrasi dengan persoalan kesehatan dan anak dengan kegiatan Pos Obat desa (POD, promosi kesehatan dan Pendidikan Anak Usia Dini

Dari 4 fokus kegiatan di atas,  satu dengan yang lain saling berkaitan, tidak terpisah-pisah, namun terintegrasi menjadi sebuah gerakan di desa. Proses ini merubah sebuah kebisaan dan paradigma bahwa mencukupi pangan dari kayu (menebang kayu) menjadi mencukupi pangan dari dan oleh warga melalui kegiatan di atas. Dari data investigasi saat ini,  80 % warga telah memiliki cadangan pangan dari hasil bertani, dan tidak pernah lagi membalak kayu sejak 2 tahun terakhir ini, setelah mereka mampu membuka sawah dan mendapatkan hasilnya. Pola pertanian yang dilakukan adalah pertanian berkelanjutan (Sustaineble Agriculture), pupuk dan pestisida berasal dari desa dengan cara membuat sendiri. Pembalak itu telah menjadi petani.

Ini yang dapat saya paparkan dalam forum diskusi ini, selamat berdiskusi dan selamat hari bumi. (hsw).


_____________
*) Materi Diskusi memperingati Hari Bumi, 5 Juni 2010 di Kampus UNSAM, Langsa
**)  Staf Bidang Ketahanan Pangan & Manajemen Lingkungan Berkelanjutan Yayasan Sheep Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar